Jakarta – Kegaduhan atas perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia (Freeport), seharusnya tak perlu terjadi. Apabila seluruh pihak komitmen untuk menegakkan aturan. Karena, prosesnya baru bisa digelar 2019.
Kata Ekonom Senior Prof Emil Salim, proses perpanjangan kontrak Freeport, berdasarkan peraturan perundang-undangan, hanya bisa dimulai pada 2019. “Kita tunggu saja hingga waktunya tiba (2019). Apa yang menjadi kebijakan Presiden Joko Widodo, itu benar. Ya ikuti saja,” ujar Emil di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (4/12/2015).
Apakah pemerintah ingin melanjutkan kerjasama dengan Freeport atau tidak, kata Emil, bukan ditentukan pada saat ini. Namun bergantung perundingan di 2019.
“Nantinya, dalam perundingan itu kan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Kalau (Freeport) mau memenuhi syaratnya, ya lanjut. Begitu pula sebaliknya,” kata Emil.
Dalam hal ini, lanjut Emil, pemerintah perlu menerapkan syarat yang tujuannya memberikan manfaat besar bagi Indonesia. “Kalau hasil perundingan manfaatnya lebih besar dari sekarang, sehingga lebih menguntungkan ya bisa. Kalau tidak (mau), ya tidak (perpanjang),” ungkap Emil.
Kata Emil, pemerintah masih punya waktu untuk mempersiapkannya. Dengan persiapan yang matang, diharapkan bisa memberikan hasil yang optimal untuk Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah harus berani menerapkan syarat tinggi, bukan malah di level yang murah.
“Kalau tidak, bisa saja Freeport di-nasionalisasi. Tapi itu perlu persiapan sejak saat ini. Tinggal apa saja konsep dari pemerintah. Yang penting bisa memberikan keuntungan sebesar-besarnya untuk negara,” paparnya.[ipe]